MEDAN, KABAR.ID- Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) merupakan satuan kerja dibawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI. Badan ini kian gencar melakukan edukasi seputar internet ke masyarakat melalui seminar.
Kegiatan melalui edukasi masyarakat ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengetahui, memahami dan meyakini sehingga mampu bersikap dan memiliki kemampuan untuk memilih dan memilah informasi dari media sosial yang berpotensi menimbulkan perpecahan dan potensi konflik.
Demikian disampaikan Latifah Hanum selaku Kepala Divisi Layanan Telekomunikasi dan Informasi untuk Pemerintah BAKTI – KOMINFO RI saat menjadi narasumber dalam Seminar Merajut Nusantara bertajuk “Menyikapi Kehadiran Buzzer Politik di Media Sosial,” di Hotel Grandhika Setiabudi Medan, Rabu (30/10/2019).
Menurut Lulu, sapaan akrab Latifah Hanum, menyatakan bahwa buzzer politik itu ada dua kategori yaitu buzzer idealis dan buzzer ekonomis. Buzzer ideologis biasanya akan selektif dalam memilah konten sehingga dia akan menerima tawaran dari kliennya yang sesuai atau cocok dengan hati nuraninya.
“Buzzer ideologis akan selektif dalam memilih konten, bukan semata-mata karena dibayar,” tuturnya.
Berbeda dengan buzzer ekonomis memang motivasinya adalah mencari keuntungan, Lulu menyebut karakter buzzer ini biasanya akan mengambil pesanan konten apa saja asalkan bayarannya cocok.
“Selama konten-konten di medsos tidak menimbulkan perpecahan dan kericuhan, kami masih biarkan. Tapi kalau sudah menimbulkan kegaduhan ruang publik yang mengancam persatuan bangsa maka Kominfo harus turun tangan untuk membatasi akses internet,” paparnya.
Disadari Lulu, kebijakan Kominfo ini sering dicap sebagai tindakan anti demokrasi. Demi persatuan bangsa, Lulu menyebut akses internet yang sudah dibangun oleh pemerintah itu dapat digunakan untuk mengupload konten-konten positif.
Dalam kesempatan ini, Lulu menjelaskan tentang perkembangan pembangunan telekomunikasi di Indonesia yang dilakukan BAKTI untuk membangun infrastruktur telekomunikasi terutama di wilayah non-komersial yaitu wilayah-wilayah 3T (Tertinggal, Terluar dan Terpencil).
“Infrastruktur terhadap akses internet ini harus dimanfaatkan untuk hal-hal positif misalnya untuk turut mempromosikan destinasi wisata di daerah-daerah 3T yang belum tereskspose ke publik sehingga mendorong kemajuan industri pariwisata,” terangnya.
Lulu menguraikan program utama BAKTI diantaranya adalah pembangunan tower BTS di 1.068 lokasi, pembangunan akses internet di 5.718 lokasi, pembangunan palapa ring yang sudah 100% terbangun, penyiaran 30 lokasi TVRI dan 19 lokasi RRI, pemanfaatan infrastruktur BAKTI, dan pembuatan satelit multifungsi yang sedang dalam proses.
BAKTI juga melakukan penyebaran akses internet dalam bidang kesehatan untuk mengakses data BPJS, Telemedicine, HALODOC, TeleCTG, dan sisrute, dalam bidang pendidikan untuk mengakses UNBK, BAHASO, SMA coding dan PBM, membantu pendaftaran pelatihan kerja, dalam bidang kantor desa untuk pembuatan laporan, data penduduk, website desa, serta membantu nelayan untuk mengetahui harga ikan.
“Ketersediaan akses internet adalah peluang untuk mendukung program ekonomi digital dan inklusi keuangan. Kami terus mendorong masyarakat untuk memanfaatkan internet ini dengan sebaik-baikya,” serunya.
Sementara, narasumber lainnya, H.M. Ali Umri, SH.,M.Kn anggota DPR RI periode 2014-2019 dari Partai Nasdem ini mengakui bahwa fenomena kehadiran buzzer politik ada yang dibayar ada yang tidak, dengan adanya buzzer politik maka telah menjadi ladang mencari nafkah di media sosial untuk mendengungkan framing pemesannya.
“Buzzer politik itu jika bayarannya tinggi yang bagus bisa menjadi jelek, yang jelek bisa menjadi bagus,” ungkap Ali Umri yang mengaku pernah menjadi korban framing media mainstream saat mencalonkan sebagai Cagub Sumut pada pilkada 2008 silam.
Senada dengan Umri, Dr. T. Keizerina Devi Azwar SH., CN., MHum selaku Ketua Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan mengatakan buzzer dapat tumbuh karena di zaman ini kita tidak bisa lepas dengan yang namanya teknologi terutama smartphone yang dari bangun tidur sampai tidur lagi kita pegang.
Devi menuturkan bahwa buzzer politik bukan lagi hal yang baru karena dia sudah lama digunakan dalam menggaet suara dalam pemilu. Devi mengambil contoh ketika Barack Obama memenangkan pilpres sebagai presiden AS.
“Zaman dahulu, kita bisa mengetahui calon pemimpin karena kita bisa melihat dan berinteraksi secara langsung, tapi zaman sekarang kita hanya dengan melihat di media sosial. Disinilah potensi munculnya buzzer politik untuk memuaskan kliennya,” papar Devi. (Wan)