Oleh : Marwan Azis*
Generasi milenial atau sering disebut generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir setelah generasi X, terlahir pada kisaran tahun 1980-2000-an. Menurut Tapscott (2009), ada tiga pembagian generasi, yakni generasi X (1965-1976), generasi Y (1977-1997), dan generasi Z (1998-sekarang). Artinya, generasi milenial berumur antara 17-37 tahun. Generasi ini sangat berbeda dari generasi sebelumnya, terutama dalam penguasaan teknologi.
Mereka lebih akrab dengan dunia maya, khususnya penggunaan media sosial. Generasi milenial memiliki cirri khas tersendiri, ia terlahir ketika era di mana sudah ada televisi berwarna, telepon seluler dan internet. Sehingga generasi ini mahir dalam memanfaatkan teknologi modern.
Berdasarkan data tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 255 juta jiwa, sebanyak 81 juta di antaranya masuk kategori generasi milenial. Dalam penguasaan media sosial, generasi milenial lebih mendominasi ketimbang generasi X. Di sejumlah negara Generasi Milenial bergerak di ranah politik, mereka turun ke jalan merespon berbagai kondisi politik dan social di negara masing-masing.
Kaum milenial bukan generasi yang malu-malu, bukan penurut, dan tak punya sikap. Dalam politik, generasi milenial sudah punya sikap yang tegas, dan tak sungkan menyuarakan sikap politik mereka. Ini terjadi di Amerika Serikat, Hong Kong,dan juga Indonesia.
Gerakan politik kaum milenial jadi fenomena global, termasuk terjadi di Hong Kong. Adalah Nathan Law yang sudah menyuarakan sikap politiknya sejak usia 15 tahun. Aksi prodemokrasi yang dilakukannya pada 2014 sempat melumpuhkan pusat bisnis di Hong Kong. Berkat aksi itu, generasi muda di Hong Kong berhasil mendapatkan perhatian. Nathan Law pun akhirnya bisa menjadi seorang anggota parlemen.
Pada Desember 2015, Nathan Law menjadi pemberitaan karena memimpin pelajar dalam melakukan aksi prodemokrasi di Hong Kong. Ia secara resmi terpilih menjadi anggota parlemen pada 4 September 2016. Di usianya yang masih 23 tahun, ia membuat kejutan dengan mengantongi 50 ribu suara yang mengantarkannya menjadi anggota parlemen termuda di Hong Kong.
Generasi milenial memiliki sikap politik yang dinamis dan peduli. Dalam hal ini, kebanyakan sikap politik mereka cenderung berbanding terbalik dengan generasi sebelumnya. Meskipun tidak menutup kenyataan bahwa masih menyisakan konservatisme. Derek Thompson kontributor untuk The Atlantis seperti dikutip Tirto.id menulis, bahwa para generasi milenial, memiliki pandangan politik yang liberal, bahkan berpihak di sayap kiri dan menyerempet dengan aliran sosialis. Ini yang kemudian turut juga mendorong sikap politik mereka untuk lebih terlibat merealisasikan pandangan politiknya atau memilih orang yang mendekati dengan pandang mereka.
Di Indonesia, gerakan serupa juga ada. Teman Ahok adalah salah satunya. Gerakan yang diinisiasi oleh kaum muda ini semula diniatkan untuk mendorong Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta melalui jalur independen. Gerakan ini dimaksudkan menciptakan pemimpin yang tidak punya utang budi kepada partai politik, sehingga nantinya diharapkan bisa memimpin dengan lebih jernih dan transparan, tanpa perlu beban membayar utang budi.
Teman Ahok berhasil mengumpulkan 1 juta KTP sehingga memenuhi syarat untuk mengantarkan Ahok bisa maju sebagai calon independen di Pilgub DKI 2017. Sayangnya, upaya Teman Ahok ini tidak berujung bahagia karena Ahok tetap memilih jalur parpol. Meski demikian, gerakan mereka merepresentasikan bagaimana kaum milenial mau bersuara, bersikap, dan berjuang. Soal hasil, para milenial ini masih harus belajar dari para pendahulunya.
1.Karakter Generasi Milenial
Dalam perhelatan politik, terutama pilkada serentak 2018 dan pemilu 2019, generasi milenial merupakan pemilih potensial (voter) yang sangat berpotensi sebagai agen perubahan. Generasi milenial kelak menjadi calon penerima estafet kepemimpinan bangsa. Terhadap kehidupan politik, generasi milenial mempunyai karakter.
Pertama, mereka lebih melek teknologi tetapi cenderung apolitis terhadap politik. Mereka tidak loyal kepada partai, sulit tunduk dan patuh instruksi. Generasi milenial cenderung tidak mudah percaya pada elite politik, terutama yang terjerat korupsi dan mempermainkan isu negatif di media sosial.
Kedua, generasi milenial cenderung berubah-ubah dalam memberikan hak politiknya. Mereka cenderung lebih rasional, menyukai perubahan dan antikemapanan. Mereka cenderung menyalurkan hak politik kepada partai yang menyentuh kepentingan dan aspirasi mereka sebagai generasi muda.
2.Peran Generasi Milenial
Menurut Alexis de Toqcueville (2013), di negara demokrasi, setiap generasi adalah manusia baru. Generasi baru ini pun mengisi kekosongan gerakan politik Indonesia pasca-Orde Baru. Generasi milenial adalah satu-satunya generasi yang disebut “digital native”, lahir dan tumbuh berbarengan dengan berkembangnya teknologi.
Generasi ini lebih berpendidikan, terbuka pada perubahan terutama pada perubahan iklim, hingga kebijakan pelayanan kesehatan. Mereka menggunakan media sosial dan internet untuk berkomunikasi yang selangkah lebih maju dari generasi sebelumnya. Mereka kelak akan melanjutkan kepemimpinan bangsa ini karena mereka harus mempersiapkan diri, partai politik juga harus mengandeng mereka, supaya mereka punya pengalaman dalam dunia politik.
Perkembangan iptek yang semakin meningkat seiring membawa pada arah pergerakan waktu yang mulai menggerus dari generasi ke generasi. Perubahan pada generasi yang lebih menyukai modernitas ini tentunya memiliki ruang tersendiri untuk menempatkan posisi mereka baik di bidang sosial, ekonomi, dan politik saat ini. Generasi Z mulai tergantikan dengan keberadaan generasi milenial.
Berdasarkan pencatatan KPU, hasil rekapitulasi data pemilih potensial dengan rentang usia 17-25 tahun kurang lebih mencapai 42 juta.
Dengan jumlah yang luar biasa ini tak heran jika, beberapa partai mulai melirik kalangan muda dengan berbagai program pendidikan politik.
Diproyeksi generasi milenial akan memiliki pengaruh besar terhadap hasil Pemilu Presiden 2019. Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, Hanta Yuda AR, dalam artikel berjudul Membaca Arah Pemilih Milenial, menyatakan Pemilu 2019 akan diikuti oleh sekitar 40 persen pemilih usia 17 hingga 35 tahun (milenial).
Jumlah tersebut membuat generasi milenial menjadi “lahan” suara yang menggiurkan dalam pertaruhan politik, dan berkemungkinan menjadi penentu siapa yang bakal memenangi RI 1. Ini kemudian membuat peserta politik berlomba untuk meraih semaksimal mungkin suara generasi ini.
Kendati begitu, meraup suara milenial bukanlah hal yang mudah. Sebab, generasi milenial melek teknologi informasi, media sosial, internet, serta memiliki latar belakang pendidikan cukup baik.
Hal ini menjadikan generasi milenial sebagai kekuatan politik yang sangat berbeda dari kelompok politik dengan ideologi mapan dan kepentingan tertentu. Meminjam istilah Hanta Yuda, mereka dikategorikan sebagai pemilih galau.
Barang siapa berhasil menguasai preferensi politik anak muda hari ini berpeluang besar memenangkan pemilu nanti. Kemunculan generasi muda atau generasi dengan usia produktif sebagai kekuatan politik melebihi analisis bahwa kekuatan politik Indonesia terdiri dari: rezim yang sedang berkuasa, militer, dan kelompok Islamis.
Setidak ada empat faktor untuk membaca arah politik pemilih milenial:
- Potensi partisipasi politik dan kemantapan pilihan,
- Sensitivitas pada isu sosial/kebijakan,
- Preferensi terhadap kandidat dan pilihan politik dalam pemilu, seperti karakter kandidat yang disukai.
- Soal bisakah calon nanti memenuhi dan mengerti kebutuhan dan pola pikir pemilih, terutama kelompok milenial. Lebih lanjut, kebutuhan tersebut di antaranya adalah lapangan pekerjaan dan wadah kreativitas bagi milenial.
Tak bisa dihindari bahwa media sosial sudah menjadi media utama infomasi kaum milenial. Oleh karena itu, kehadiran milenial yang menjadi pemicu keikutsertaan permasalahan ini perlu dibina dengan tidak menjejali informasi yang tak bermutu demi kepentingan. Kehadiran kaum milenial harus mendapatkan rangkulan penuh dari pemerintah. Sebagai generasi penerus bangsa yang akan membawa perubahan pola pikir negara nanti, tentunya pemerintah harus menerapkan budaya literasi kepada kaum milenial.
Catatan Saran Buat Generasi Milenial Dalam Menyikapi Memomentum Politik 2019 :
1) Generasi Milenial harus memanfaatkan momentum politik 2019 baik pada pemilihan legislatif maupun presiden dan wakil presiden. Saatnya kalian memanfaatkan momen tersebut dengan terlibat aktif dalam momentum tersebut, apalagi tak sedikit generasi milenial yang mencalon diri di pileg 2019 baik ditingkat DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi hingga DPR-RI. Karena peran kalian akan menentukan arah dan keberlanjutan bangsa ini.
2) Generasi Milenial yang bergantung pada internet harus bijak untuk memilah informasi tersebut agar suara mereka tersalurkan secara tepat.
3) Generasi Milenial juga sebaiknya pandai-pandai menyaring informasi yang banyak berserakan di internet, bisa memilah mana yang fakta dan mana hoax, kalian bisa memanfaatkan platform https://cekfakta.com/ yang diinisiasi sejumlah pengelola media online di Indonesia yang juga didukung oleh Google.
4) Generasi Milenial, sebelum menuntukan pilihan, sebaiknya pelajari jejak rekam calon baik di pileg maupun pada pilpres 2019 mendatang, agar tidak salah memilih.
Terimakasih. ***
Penulis adalah Pemerhati Politik serta alumnus HMI yang berdomisili di Jakarta.